Selasa, 28 Mei 2013

Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka

Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka | Suara Papua untuk merdeka sering kali terdengar. Walaupun sayup-sayup seakan-akan ini gerakan kecil yang tidak berarti. Baru-baru ini, muncul sebuah reportase dari Al Jazeera tanggal 31 Januari 2013 yang langsung direspon oleh pihak pemerintah Indonesia keesokan harinya pada tanggal 1 Februari 2013. Tapi bagaimana sebenarnya? Apakah keinginan Papua untuk memerdekakan diri dapat dijustifikasi?

Untuk menjawab ini saya akan memberikan perspektif saya tentang latar belakang sejarah Papua. Papua adalah bagian dari Dutch East Indies pada saat penjajahan Belanda. Dutch East Indies adalah cikal bakal terbentuknya Indonesia sebagai negara. Perlu diingat bahwa sebelum penjajahan Belanda belum ada konsep negara Indonesia, melainkan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Saya sering mempermasalahkan istilah divide-et-impera dalam konteks penjajahan Belanda, karena pada masa itu Nusantara bukanlah satu kesatuan sehingga perlu dipecah-belah. Belanda tidak perlu melakukan apa-apa selain menunggangi konflik antar suku yang sudah ada.

Kemudian karena perasaan senasib dan sepenanggungan, kemudian akhirnya Dutch East Indies mampu menyatukan visi sebagai satu negara. Seluruhnya? Tidak. Dutch East Indies, kecuali Papua. Siapa pahlawan nasional pejuang kemerdekaan dari Papua? Hmm. Ya, saya tidak tahu. Mungkin ada di antara pembaca yang tahu? Setahu saya, yang ada hanya tiga orang Papua yang dianggap sebagai pahlawan nasional atas jasanya dalam proses integrasi Papua menjadi bagian dari NKRI, yaitu Marthen Indey, Silas Papare dan Frans Kaisiepo. Mungkin hal ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat Papua pada masa itu masih cenderung kesukuan dan tidak seluruhnya mengerti konsep Indonesia sebagai negara kesatuan. Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, Papua masih Dutch East Indies. Melihat latar belakang sejarah yang seperti ini, mungkin kita sulit membayangkan apa yang ada di benak orang-orang Papua saat upacara tujuhbelasan.

Tahun 1962-1964, operasi Trikora dilancarkan, dilandasi oleh sentimen anti-Belanda untuk merebut Papua sebagai wilayah NKRI. Di sisi lain, tidak ada pendekatan yang jelas terhadap pihak masyarakat Papua. Saat ini saya masih belum dapat mengetahui sebesar apa pengaruh ketiga tokoh Papua yang digelari pahlawan nasional dalam integrasi Papua ke dalam NKRI.

Tahun 1969, dilakukan Pepera, atau Penentuan Pendapat Rakyat, pengambilan referendum untuk menentukan pilihan bagi masyarakat Papua untuk berdiri sendiri atau menjadi bagian dari NKRI. Pepera mengumpulkan pendapat dari 1025 orang untuk mewakili suara 1 juta lebih orang Papua di masa itu. Dan seperti kita ketahui bersama, hasil Pepera adalah 100 persen bulat bahwa Papua ingin bergabung dengan NKRI. Di sini dapat dipertanyakan alasan kenapa Papua ingin masuk Indonesia? Bagaimana pandangan masyarakat Papua terhadap Indonesia pada masa itu? Logiskah Papua memilih masuk Indonesia ketimbang merdeka?

Bayangkan, 100 persen orang Papua sekonyong-konyong memutuskan untuk bergabung dengan NKRI, padahal sebelumnya orang Papua hampir tidak pernah berhubungan dengan NKRI, beberapa artikel hanya menunjukkan bahwa dahulu Papua pernah menjadi wilayah kerajaan Tidore, itu pun hanya beberapa pulau di pesisir Papua barat. Melihat sejarah hubungan antara Papua dengan NKRI, mungkin bagi saya akan lebih mudah menerima kalau hasilnya 99 persen atau 51 persen. Tetapi 100 persen sungguh sulit bagi saya, dan pasti tidak menggambarkan pendapat rakyat Papua yang sesungguhnya.

Sejalan dengan itu, saya juga menduga bahwa Pepera ini ditunggangi kepentingan suatu negara lain. Negara ini katanya khawatir bahwa Pepera akan dimanipulasi oleh Indonesia. Luar biasa. Kalau dilihat sekarang, negara mana yang paling diuntungkan oleh sumber daya alam di Papua? Indonesia? Atau negara lain tadi? Sebagai catatan tembaga sudah dijumpai di Papua sejak tahun 1959.

Setelah Papua menjadi bagian dari NKRI, ternyata pemerintah Indonesia tidak berhasil mendorong Papua mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lainnya dalam waktu yang singkat. Sebelum pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 1999, pembangunan di Papua sangatlah mandek. Dibandingkan dengan empat pulau besar lainnya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, Papua adalah yang paling terbelakang. Sebagian masyarakat Papua kemudian memandang pemerintah Indonesia sebagai penjajah yang menguras sumber daya alam, tetapi tidak serius dalam membangun Papua. Beberapa pihak di masyarakat Papua merasa tertipu, terpaksa dan tertekan di bawah pemerintahan Indonesia.

Otonomi Khusus diberlakukan pada tahun 2001, dengan pemberian Otsus ini pemerintah Indonesia memberi kesempatan bagi Pemerintah Daerah di Papua untuk menentukan sendiri arah pembangunan di Papua dalam koridor peraturan yang berlaku. Otonomi khusus adalah kesempatan besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Pemda Papua, baik Pemprov maupun Pemkab/Pemkot, untuk memajukan Papua. Belum adanya Perdasi/Perdasus kemudian dijadikan kambing hitam pelaksanaan Otsus yang tidak maksimal. Sementara itu ketakutan dan kecurigaan telah menghambat penyusunan draft Perdasi/Perdasus yang seharusnya dibuat dengan pemikiran yang jernih dan tulus, serta melibatkan ahli-ahli hukum, elemen adat dan pihak universitas.

Dalam masalah penyusunan Perdasi/Perdasus, masyarakat Papua tidak perlu mengkhawatirkan proses pengkajian oleh pihak Pemerintah Indonesia. Kekhawatiran ini sebaiknya dikesampingkan terlebih dahulu karena nantinya keputusan Pemerintah Indonesia akan dapat dikaji ulang secara terbuka dan bersama-sama. Dengan demikian penyusunan draft Perdasi/Perdasus harus menjadi prioritas utama bagi Papua sekarang ini agar pelaksanaan Otsus bisa maksimal.

Terlepas dari ketidakwajaran dalam Pepera, opini masyarakat Papua sendiri saat ini terpecah antara keinginan untuk merdeka dan keinginan untuk tetap menjadi bagian dari NKRI. Pihak yang ingin merdeka diwakili oleh gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM adalah gerakan yang bersifat kesukuan dan sempit karena tidak menyadari bahwa Papua tidak mungkin bisa memerdekakan diri tanpa dukungan dari pendatang yang mau bersama-sama membangun Papua. Artinya visi gerakan OPM dilandasi oleh sentimen anti Indonesia yang terlampau kuat. Lebih jauh lagi, kita dapat melihat bahwa Indonesia sendiri masih terus bekerja keras dalam menghadapi globalisasi. Seandainya Papua memerdekakan diri, akan sulit sekali bagi Papua untuk menghadapi persaingan global, walaupun mungkin nasibnya tidak akan seburuk Papua Nugini tetangganya.

Dengan melihat kondisi Papua saat ini, kemerdekaan Papua tidak akan menjamin bahwa Papua akan berkembang lebih baik daripada sekarang, dan tidak ada jaminan bahwa pemimpin yang akan berkuasa akan mempunyai visi mensejahterakan masyarakat Papua. Kita dapat menemukan alasan-alasan untuk menuntut kemerdekaan Papua dan di lain pihak, kita juga punya alasan-alasan untuk menjaga Papua sebagai bagian dari NKRI. Mudah-mudahan pembaca dapat menimbang sendiri kedua kubu alasan tersebut dan menilai mahalnya harga sebuah kemerdekaan dari sudut pandang Papua maupun Indonesia. Namun terlepas dari penilaian pembaca, saya masih berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia perlu meluruskan ketidakwajaran yang terjadi dalam sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI.

By "L-pres Rizqy 27"
Description: Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka Rating: 3.5 Reviewer: Unknown ItemReviewed: Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka

0 yorum:

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 
Jangan Lupa Like ya
×

Copyright © 2012. Artikel | Gembelz - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Blog Bamz