Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka
Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka | Suara Papua untuk merdeka sering kali terdengar. Walaupun sayup-sayup
seakan-akan ini gerakan kecil yang tidak berarti. Baru-baru ini, muncul
sebuah reportase dari Al Jazeera tanggal 31 Januari 2013 yang langsung
direspon oleh pihak pemerintah Indonesia keesokan harinya pada tanggal 1
Februari 2013. Tapi bagaimana sebenarnya? Apakah keinginan Papua untuk
memerdekakan diri dapat dijustifikasi?
Untuk menjawab ini saya
akan memberikan perspektif saya tentang latar belakang sejarah Papua.
Papua adalah bagian dari Dutch East Indies pada saat penjajahan Belanda.
Dutch East Indies adalah cikal bakal terbentuknya Indonesia sebagai
negara. Perlu diingat bahwa sebelum penjajahan Belanda belum ada konsep
negara Indonesia, melainkan kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Saya
sering mempermasalahkan istilah divide-et-impera dalam konteks
penjajahan Belanda, karena pada masa itu Nusantara bukanlah satu
kesatuan sehingga perlu dipecah-belah. Belanda tidak perlu melakukan
apa-apa selain menunggangi konflik antar suku yang sudah ada.
Kemudian karena perasaan senasib dan sepenanggungan, kemudian akhirnya
Dutch East Indies mampu menyatukan visi sebagai satu negara. Seluruhnya?
Tidak. Dutch East Indies, kecuali Papua. Siapa pahlawan nasional
pejuang kemerdekaan dari Papua? Hmm. Ya, saya tidak tahu. Mungkin ada di
antara pembaca yang tahu? Setahu saya, yang ada hanya tiga orang Papua
yang dianggap sebagai pahlawan nasional atas jasanya dalam proses
integrasi Papua menjadi bagian dari NKRI, yaitu Marthen Indey, Silas
Papare dan Frans Kaisiepo. Mungkin hal ini disebabkan oleh pola pikir
masyarakat Papua pada masa itu masih cenderung kesukuan dan tidak
seluruhnya mengerti konsep Indonesia sebagai negara kesatuan. Saat
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, Papua masih
Dutch East Indies. Melihat latar belakang sejarah yang seperti ini,
mungkin kita sulit membayangkan apa yang ada di benak orang-orang Papua
saat upacara tujuhbelasan.
Tahun 1962-1964, operasi Trikora
dilancarkan, dilandasi oleh sentimen anti-Belanda untuk merebut Papua
sebagai wilayah NKRI. Di sisi lain, tidak ada pendekatan yang jelas
terhadap pihak masyarakat Papua. Saat ini saya masih belum dapat
mengetahui sebesar apa pengaruh ketiga tokoh Papua yang digelari
pahlawan nasional dalam integrasi Papua ke dalam NKRI.
Tahun
1969, dilakukan Pepera, atau Penentuan Pendapat Rakyat, pengambilan
referendum untuk menentukan pilihan bagi masyarakat Papua untuk berdiri
sendiri atau menjadi bagian dari NKRI. Pepera mengumpulkan pendapat dari
1025 orang untuk mewakili suara 1 juta lebih orang Papua di masa itu.
Dan seperti kita ketahui bersama, hasil Pepera adalah 100 persen bulat
bahwa Papua ingin bergabung dengan NKRI. Di sini dapat dipertanyakan
alasan kenapa Papua ingin masuk Indonesia? Bagaimana pandangan
masyarakat Papua terhadap Indonesia pada masa itu? Logiskah Papua
memilih masuk Indonesia ketimbang merdeka?
Bayangkan, 100
persen orang Papua sekonyong-konyong memutuskan untuk bergabung dengan
NKRI, padahal sebelumnya orang Papua hampir tidak pernah berhubungan
dengan NKRI, beberapa artikel hanya menunjukkan bahwa dahulu Papua
pernah menjadi wilayah kerajaan Tidore, itu pun hanya beberapa pulau di
pesisir Papua barat. Melihat sejarah hubungan antara Papua dengan NKRI,
mungkin bagi saya akan lebih mudah menerima kalau hasilnya 99 persen
atau 51 persen. Tetapi 100 persen sungguh sulit bagi saya, dan pasti
tidak menggambarkan pendapat rakyat Papua yang sesungguhnya.
Sejalan dengan itu, saya juga menduga bahwa Pepera ini ditunggangi
kepentingan suatu negara lain. Negara ini katanya khawatir bahwa Pepera
akan dimanipulasi oleh Indonesia. Luar biasa. Kalau dilihat sekarang,
negara mana yang paling diuntungkan oleh sumber daya alam di Papua?
Indonesia? Atau negara lain tadi? Sebagai catatan tembaga sudah dijumpai
di Papua sejak tahun 1959.
Setelah Papua menjadi bagian dari
NKRI, ternyata pemerintah Indonesia tidak berhasil mendorong Papua
mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lainnya dalam waktu yang
singkat. Sebelum pemberlakuan otonomi daerah pada tahun 1999,
pembangunan di Papua sangatlah mandek. Dibandingkan dengan empat pulau
besar lainnya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi, Papua adalah
yang paling terbelakang. Sebagian masyarakat Papua kemudian memandang
pemerintah Indonesia sebagai penjajah yang menguras sumber daya alam,
tetapi tidak serius dalam membangun Papua. Beberapa pihak di masyarakat
Papua merasa tertipu, terpaksa dan tertekan di bawah pemerintahan
Indonesia.
Otonomi Khusus diberlakukan pada tahun 2001, dengan
pemberian Otsus ini pemerintah Indonesia memberi kesempatan bagi
Pemerintah Daerah di Papua untuk menentukan sendiri arah pembangunan di
Papua dalam koridor peraturan yang berlaku. Otonomi khusus adalah
kesempatan besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh Pemda Papua,
baik Pemprov maupun Pemkab/Pemkot, untuk memajukan Papua. Belum adanya
Perdasi/Perdasus kemudian dijadikan kambing hitam pelaksanaan Otsus yang
tidak maksimal. Sementara itu ketakutan dan kecurigaan telah menghambat
penyusunan draft Perdasi/Perdasus yang seharusnya dibuat dengan
pemikiran yang jernih dan tulus, serta melibatkan ahli-ahli hukum,
elemen adat dan pihak universitas.
Dalam masalah penyusunan
Perdasi/Perdasus, masyarakat Papua tidak perlu mengkhawatirkan proses
pengkajian oleh pihak Pemerintah Indonesia. Kekhawatiran ini sebaiknya
dikesampingkan terlebih dahulu karena nantinya keputusan Pemerintah
Indonesia akan dapat dikaji ulang secara terbuka dan bersama-sama.
Dengan demikian penyusunan draft Perdasi/Perdasus harus menjadi
prioritas utama bagi Papua sekarang ini agar pelaksanaan Otsus bisa
maksimal.
Terlepas dari ketidakwajaran dalam Pepera, opini
masyarakat Papua sendiri saat ini terpecah antara keinginan untuk
merdeka dan keinginan untuk tetap menjadi bagian dari NKRI. Pihak yang
ingin merdeka diwakili oleh gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM
adalah gerakan yang bersifat kesukuan dan sempit karena tidak menyadari
bahwa Papua tidak mungkin bisa memerdekakan diri tanpa dukungan dari
pendatang yang mau bersama-sama membangun Papua. Artinya visi gerakan
OPM dilandasi oleh sentimen anti Indonesia yang terlampau kuat. Lebih
jauh lagi, kita dapat melihat bahwa Indonesia sendiri masih terus
bekerja keras dalam menghadapi globalisasi. Seandainya Papua
memerdekakan diri, akan sulit sekali bagi Papua untuk menghadapi
persaingan global, walaupun mungkin nasibnya tidak akan seburuk Papua
Nugini tetangganya.
Dengan melihat kondisi Papua saat ini,
kemerdekaan Papua tidak akan menjamin bahwa Papua akan berkembang lebih
baik daripada sekarang, dan tidak ada jaminan bahwa pemimpin yang akan
berkuasa akan mempunyai visi mensejahterakan masyarakat Papua. Kita
dapat menemukan alasan-alasan untuk menuntut kemerdekaan Papua dan di
lain pihak, kita juga punya alasan-alasan untuk menjaga Papua sebagai
bagian dari NKRI. Mudah-mudahan pembaca dapat menimbang sendiri kedua
kubu alasan tersebut dan menilai mahalnya harga sebuah kemerdekaan dari
sudut pandang Papua maupun Indonesia. Namun terlepas dari penilaian
pembaca, saya masih berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia perlu
meluruskan ketidakwajaran yang terjadi dalam sejarah integrasi Papua ke
dalam NKRI.
By "L-pres Rizqy 27"
Description:
Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka
Rating:
3.5
Reviewer:
Unknown
ItemReviewed:
Mengapa Papua Tidak Boleh Merdeka
0 yorum:
Posting Komentar